PEMBANGUNAN KA’BAH
Di zaman Jahiliyyah Ka’bah dibangun dan disusun dengan batu-batu saja tanpa ada semen atau sejenisnya yang berfungsi untuk melekatkan batu-batu tersebut. Tinggi Ka’bah juga hanya seberapa dan tidak terlalu tinggi. Pada awalnya Ka’bah hanya memiliki dua sudut saja[1], yaitu hanya rukun yamaani dan rukun al-Hajar al-Aswad, dan bentuknya kira-kira seperti “D” (yaitu seperti huruf kapital d)[2].
Karena kondisi ka’bah yang demikian dan tanpa adanya dinding (semacam pagar) yang mengitari dan melindunginya maka ka’bah mudah sekali terhantam oleh banjir yang turun dari gunung-gunung Mekah apabila terjadi hujan.
Tatkala Nabi ﷺ berusia 35 tahun (sekitar lima tahun sebelum beliau ﷺ diangkat menjadi Nabi)[3] terjadilah banjir hebat yang menghantam dinding-dinding ka’bah sehingga merusak pondasi ka’bah. Orang-orang kafir Quraisy ingin mengadakan renovasi ka’bah yaitu dengan membongkar total ka’bah. Akan tetapi mereka takut meruntuhkan ka’bah terlebih dahulu sebelum merenovasinya, mengingat 35 tahun yang lalu telah terjadi peristiwa dihancurkannya tentara bergajah milik Abrahah yang hendak merusak ka’bah. Oleh karena itu, orang-orang Quraisy tidak ada yang berani dan takut ditimpa seperti apa yang telah menimpa Abrahah 35 tahun lalu.
Namun, salah seorang diantara mereka yang bernama Al-Walīd Ibnul Mughīrah nekat membongkar Ka’bah. Dia berkata kepada orang-orang Quraisy:
أَتُرِيدُونَ بِهَدْمِهَا الإِصْلاحَ ، أَمِ الإِسَاءَةَ ؟ قَالُوا : بَلْ نُرِيدُ الإِصْلاحَ . قَالَ : فَإِنَّ اللَّهَ لا يُهْلِكُ الْمُصْلِحِينَ
“Kalian ingin menghancurkan Ka’bah dengan tujuan untuk memperbaikinya atau memperburuknya?” Jawab mereka: “Kami ingin memperbaikinya.” Kalau begitu Allāh tidak akan menghancurkan orang-orang yang berbuat baik.
Akhirnya dia mulai mengambil cangkulnya dan membongkar Ka’bah sedikit demi sedikit. Malam itu tidak ada seorang pun yang berani mengikuti dirinya membongkar Ka’bah. Orang-orang mulai menunggu dan menanti apa yang akan terjadi pada malam itu, khawatir Al-Walid bin Al-Mughirah terkena adzab sebagaimana yang telah menimpa Abrahah.
Mereka berkata:
فَإِنْ أُصِيبَ لَمْ نَهْدِمْ مِنْهَا شَيْئًا وَرَدَدْنَاهَا كَمَا كَانَتْ، وَإِنْ لَمْ يُصِبْهُ شَيْءٌ، فَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ صُنْعَنَا، فَهَدَمْنَا
“Jika dia ditimpa suatu musibah, kita tidak akan membongkar Ka’bah sama sekali dan kita kembalikan ka’bah sebagaimana sedia kala. Namun jika ia selamat, berarti Allah telah ridha dengan apa yang akan kita lakukan, maka kita runtuhkan ka’bah.”
Pada pagi harinya, Al-Walid bin Al-Mughirah tetap dalam keadaan sehat wal ‘āfiyat. Al-Walid bin Al-Mughirah pun kembali melanjutkan membongkar Ka’bah, dan akhirnya orang-orang ikut membantunya. Mereka kemudian membongkar Ka’bah seluruhnya hingga pondasi Ibrāhīm ‘alayhissalām.[4]
Mereka gantikan semua batu Ka’bah dengan batu yang baru kecuali batu Hajar Aswad. Ketika mereka sedang membangun ka’bah, salah seorang dari mereka berkata -seraya mengingatkan- :
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، لَا تُدْخِلُوا فِي بِنَائِهَا مِنْ كَسْبِكُمْ إلَّا طَيِّبًا، لَا يَدْخُلُ فِيهَا مَهْرُ بِغَيٍّ، وَلَا بَيْعُ رِبًا، وَلَا مُظْلَمَةُ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ
“Wahai kaum Quraisy sekalian, janganlah kalian menggunakan biaya untuk membangun ka’bah kecuali dari penghasilan yang baik. Jangan sampai di dalamnya ada hasil zina, hasil jual beli riba, dan hasil sebab telah menzhalimi seseorang.”[5]
Disebutkan dalam sebuah hadits yang shahīh bahwasanya ketika itu Rasūlullāh ﷺ turut membantu memperbaiki Ka’bah ditemani oleh pamannya Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib.
Jabir bin Abdillah berkata :
لَمَّا بُنِيَتِ الكَعْبَةُ ذَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبَّاسٌ يَنْقُلاَنِ الحِجَارَةَ، فَقَالَ العَبَّاسُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اجْعَلْ إِزَارَكَ عَلَى رَقَبَتِكَ، فَخَرَّ إِلَى الأَرْضِ، وَطَمَحَتْ عَيْنَاهُ إِلَى السَّمَاءِ، فَقَالَ: «أَرِنِي إِزَارِي» فَشَدَّهُ عَلَيْهِ
“Tatkala ka’bah dibangun, Nabi ﷺ dan ‘Abbas ikut membantu mengangkat batu. Al-‘Abbas berkata kepada Nabi, “Letakkanlah sarungmu di atas lehermu (agar pundak/leher tidak terlalu sakit pada saat mengangkat batu karena dilapisi dengan sarung-pen).” Maka Nabi pun jatuh tersungkur di tanah, dan kedua matanya terangkat melihat ke langit dan ia berkata, “Sarungku-sarungku (tolong dikencangkan)!” Kemudian Al-‘Abbas pun mengencangkan sarung Nabi.” (HR Al-Bukhari no 1582)
Allah menjadikan Nabi tersungkur agar beliau tidak jadi mengangkat sarungnya dan meletakkannya di atas lehernya yang menyebabkan aurat beliau akan tersingkap.
Seluruh kabilah-kabilah Quraisy pun ikut serta mengumpulkan batu-batu untuk membangun ka’bah. Masing-masing kabilah bertugas untuk membangun ka’bah pada posisi tertentu. Hingga ketika seluruh bagian ka’bah telah selesai dibangun dan bersisa bagian Hajar Aswad, timbullah perselisihan di antara mereka. Masing-masing kabilah menginginkan agar merekalah yang mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya. Hingga akhirnya masing-masing kabilah berkumpul dan saling bersumpah untuk bersiap berperang. Bahkan mereka bersumpah dengan cara memasukkan tangan mereka ke darah yang diletakkan di tempayan. Ketegangan tersebut berlangsung dalam waktu 4 sampai 5 hari. Akhirnya mereka berkumpul dan bermusyawarah di Masjidil Haram.
Salah seorang dari mereka (yaitu Abu Umayyah bin al-Mughirah dimana dia adalah orang tertua pada saat itu) memiliki ide. Dia berkata:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ فِيمَا تَخْتَلِفُونَ فِيهِ أَوَّلَ مَنْ يَدْخُلُ مِنْ بَابِ هَذَا الْمَسْجِدِ يَقْضِي بَيْنَكُمْ فِيهِ
“Wahai kaum Quraisy, angkatlah menjadi pemberi keputusan atas perselisihan kalian orang yang pertama kali masuk dari pintu masjid ini (yaitu Masjidil Haram), dialah yang akan memutuskan perkara kalian.”
Akhirnya mereka pun setuju. Ternyata yang pertama kali masuk dari pintu tersebut adalah Nabi ﷺ. Mereka serentak berkata, “Inilah Al-Amin (orang yang amanah/terpercaya), kami telah ridha, inilah Muhammad.”[6]
Dalam musnad Imam Ahmad dari Maula Mujahid -dia termasuk orang yang ikut serta dalam pembangunan ka’bah di masa jahiliyyah- berkata :
فَقَالَ: بَطْنٌ مِنْ قُرَيْشٍ نَحْنُ نَضَعُهُ، وَقَالَ: آخَرُونَ نَحْنُ نَضَعُهُ، فَقَالُوا: اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ حَكَمًا، قَالُوا: أَوَّلَ رَجُلٍ يَطْلُعُ مِنَ الْفَجِّ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: أَتَاكُمُ الْأَمِينُ، فَقَالُوا لَهُ، ” فَوَضَعَهُ فِي ثَوْبٍ، ثُمَّ دَعَا بُطُونَهُمْ فَأَخَذُوا بِنَوَاحِيهِ مَعَهُ، فَوَضَعَهُ هُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sebagian suku dari Quraisy berkata, “Kamilah yang akan meletakan Hajar Aswad. Sebagian yang lain berkata, “Kami yang akan meletakkannya.” Lalu mereka berkata, “Jadikanlah diantara kalian seorang hakim (pemberi keputusan)!” Mereka berkata, “Yaitu orang yang pertama kali muncul dari jalan ini.” Ternyata Nabi ﷺ lah yang datang”. Maka mereka berkata, “Telah datang kepada kalian Al-Amin (orang yang terpercaya)”. Lalu mereka mengabarkan kepada Nabi (apa yang sedang mereka perselisihkan), kemudian Nabi meletakan Hajar Aswad di sebuah baju dan memanggil seluruh kabilah Quraisy. Masing-masing mereka mengangkat dan memegangi ujung-ujung baju tersebut, (setelah Hajar Aswad diangkat secara bersama-sama -pen) kemudian Nabi meletakan Hajar Aswad pada tempatnya.” (HR Ahmad no. 15504 dan sanadnya dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)
Beberapa faidah yang bisa dipetik dari kisah ini;
Pertama : Orang-orang kafir Quraisy di zaman Jahiliyyah meskipun gemar melakukan maksiat, riba, zina, kezhaliman dan hal-hal haram lainnya, tetapi ketika ingin membangun Ka’bah, mereka sadar bahwa rumah Allāh Subhānahu wa Ta’āla tersebut tidak boleh dibangun dengan harta yang haram.
Namun ironinya, sekarang ini riba telah dibuat indah oleh sebagian orang. Bahkan mereka akan merasa gagah jika bekerja di tempat-tempat riba, padahal ini merupakan dosa besar. Karena itulah orang-orang Quraisy dahulu ketika ingin membangun Ka’bah, mereka tidak ingin menggunakan biaya pembangunannya dari hasil yang haram atau hasil menzhalimi orang lain. Mereka bahkan menyamakan antara hasil riba dengan hasil zina. Tidak seperti zaman sekarang, membangun masjid malah dari hasil korupsi atau hasil judi, dan dia merasa amalnya tersebut akan diterima oleh Allāh. Padahal Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak akan menerimanya sama sekali.
Kedua : Ka’bah yang ada sekarang bentuk dan ukurannya sama dengan Ka’bah pada zaman ketika orang-orang Quraisy memugarnya. Karena orang-orang Quraisy pada saat itu kekurangan biaya untuk membangun Ka’bah sebab mereka hanya menggunakan hartanya dari sumber yang halal.
Nabi ﷺ berkata :
لَوْلاَ حَدَاثَةُ قَوْمِكِ بِالكُفْرِ لَنَقَضْتُ البَيْتَ، ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ بِنَاءَهُ
“Kalau bukan karena kaummu (wahai ‘Aisyah) baru saja meninggalkan kekufuran, niscaya aku akan meruntuhkan ka’bah, lalu aku akan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim ‘alaihis salam, karena sesungguhnya kaum Quraisy kekurangan biaya untuk membangun ka’bah” (HR Al-Bukhari no 1585 dan Muslim no 1333)
Kekurangan biaya ini menyebabkan kaum Quraisy hanya bisa membangun sebagian ka’bah saja sehingga tidak mencapai tahap yang sempurna, padahal Al-Hijr (Hijr Isma’il) termasuk bagian dari Ka’bah (lihat Fathul Baari 3/444). Inilah sebab mengapa orang yang sedang melakukan thawaf tidak boleh masuk Hijr Ismā’īl[7]. Barangsiapa yang thawaf memasuki Hijr Ismā’īl berarti thawafnya tidak sah, karena dia belum mengelilingi Ka’bah secara sempurna. Sebagaimana telah lalu bahwasanya ka’bah asalnya berbentuk seperti hurud “D”, lingkaran di ujung adalah Hijr Isma’il dan rukun (pojok) ka’bah aslinya hanya dua, yaitu Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad.
Diantara hikmah yang lain, pada saat thawaf yang diusap hanya 2 rukun yaitu Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad, itulah rukun yang asli. Adapun 2 rukun yang lain tidak diusap sebagaimana Rasūlullāh ﷺ dan para shahābat hanya menyentuh Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad. Oleh karena itu, saat Mu’āwiyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu thawaf, beliau menyentuh 4 rukun seluruhnya. Perbuatan beliau ditegur oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā.
وَكَانَ مُعَاوِيَةُ يَسْتَلِمُ الأَرْكَانَ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: إِنَّهُ لاَ يُسْتَلَمُ هَذَانِ الرُّكْنَانِ، فَقَالَ: «لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ البَيْتِ مَهْجُورًا»
“Dulu Mu’awiyah mengusap seluruh rukun (sudut), maka Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menegurnya, “Sesungguhnya tidak ada yang disentuh kecuali dua sudut.” Mu’awiyah berkata, “Tidak ada sesuatu pun dari Ka’bah yang ditinggalkan.” (HR Al-Bukhari no. 1608)
Dalam riwayat Ahmad,
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: صَدَقْتَ
Maka Ibnu Ábbas berkata, “Sungguh bagi kalian ada teladan yang baik pada Rasulullah”. Maka Mu’awiyah berkata صدقتَ “Engkau benar (wahai Ibnu ‘Abbas).” (HR Ahmad no. 1877 dengan sanad yang shahih, lihat Fathul Baari 3/474)
Akhirnya Mu’āwiyah hanya mengusap 2 bagian saja yaitu Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad karena dua rukun yang lain (yaitu dua rukun syaamiyain) tidaklah asli. Imam Asy-Syafi’i berkata :
بِأَنَّا لَمْ نَدَّعِ اسْتِلَامَهُمَا هَجْرًا للبيت وَكَيْفَ يَهْجُرُهُ وَهُوَ يَطُوفُ بِهِ وَلَكِنَّا نَتَّبِعُ السُّنَّةَ فِعْلًا أَوْ تَرْكًا وَلَوْ كَانَ تَرْكُ استلامهما هجرا لَهما لَكَانَ تَرْكُ اسْتِلَامِ مَا بَيْنَ الْأَرْكَانِ هَجْرًا لَهَا وَلَا قَائِلَ بِهِ
“Sesungguhnya kami tidaklah mengusap kedua rukun (syaamiyain) bukan karena meninggalkan Ka’bah. Bagaimana seseorang dikatakan meninggalkan ka’bah sementara ia sedang thawaf mengelilingi ka’bah. Akan tetapi kami hanyalah mengikuti Sunnah, baik yang dikerjakan maupun yang ditinggalkan (dan sunnahnya adalah meninggalkan mengusap dua rukun yang lain-pen). Seandainya tidak mengusap dua rukun syaamiyain adalah bentuk meninggalkan kedua rukun, maka tidak mengusap seluruh dinding ka’bah yang ada diantara rukun-rukun tersebut juga merupakan bentuk meninggalkannya, dan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian.” (Fathul Baari 3/474-475)
Saat pemugaran Ka’bah, orang-orang Quraisy membuatnya tambah tinggi. Sebelumnya, Ka’bah tingginya hanya 9 adzrā (kira-kira 4 atau 4.5 meter) ditambah 9 adzrā lagi menjadi 18 adzrā (8-9 meter), dan pintu Ka’bah diangkat menjadi lebih tinggi sehingga tidak lagi menempel di tanah. Diantara tujuan mereka melakukan hal ini adalah :
⑴ Untuk memperkuat pondasi Ka’bah dan agar tidak terkena banjir saat hujan.
⑵ Agar tidak semua orang bisa masuk Ka’bah. Bagi yang ingin masuk Ka’bah, harus minta izin terlebih dahulu kepada orang-orang Quraisy.
Nabi ﷺ pernah berkata kepada ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā:
يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ، لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ (وفي رواية مسلم : وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ ) فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ
“Kalau bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekafiran (baru masuk Islam), niscaya aku akan menghancurkan Ka’bah (dalam riwayat Muslim: Dan sungguh aku akan membangun ka’bah di atas pondasi Nabi Ibrahim), lalu aku akan buatkan dua pintu Ka’bah, yaitu pintu masuk dan pintu keluar.” (HR Al-Bukhari no 126 dan Muslim no 1333)
Ini merupakan cita-cita dan keinginan Nabi ﷺ yang didengar oleh ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā. ‘Āisyah memiliki keponakan yang bernama ‘Abdullāh bin Zubair radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Karena itulah ‘Āisyah diberi kunyah dengan Ummu ‘Abdillāh diambil dari nama keponakannya. Saat pemerintahan ‘Abdullāh bin Zubair, Ka’bah mengalami kerusakan akibat kebakaran. Akhirnya ‘Abdullāh bin Zubair berniat untuk memperbaiki dan memperbaharui Ka’bah. Seperti biasa, orang-orang takut akan terjadi apa-apa pada dirinya. ‘’Abdullāh bin Zubair berkata,
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمُ احْتَرَقَ بَيْتُهُ بَنَاهُ حَتَّى يُجَدِّدَهُ
“Seandainya salah seorang dari kalian rumahnya terbakar, tentu ia akan membangunnya kembali dengan cara memperbaharuinya.”
Karena orang-orang takut akan terjadi sesuatu maka ‘Abdullāh bin Zubair sendirilah yang meruntuhkan ka’bah, lalu memilih bagian mana yang masih bisa dipakai dan mana yang harus diganti. Beliau juga mencari pondasi Ibrahim dengan melakukan penggalian hingga akhirnya ia menemukan pondasi Ibrahim. Beliau kemudian mengadakan perubahan terhadap bangunan ka’bah, diantaranya :
- Ka’bah yang tadinya setinggi 18 hasta ditambah 10 hasta sehingga menjadi 28 hasta.
- Al-Hijr semuanya dimasukan ke dalam bagian ka’bah.
- Pintu ka’bah yang sebelumnya tinggi (karena ditinggikan oleh kaum Qurasiy) dan hanya ada satu, maka ‘Abdullāh bin Zubair kemudian membuat dua pintu yaitu pintu masuk dan pintu keluar dan kedua pintu tersebut diturunkan hingga di tanah. Sehingga orang-orang bisa masuk dan keluar ka’bah tanpa berdesakan.
Semua perubahan ini dilakukan oleh ‘Abdullāh bin Zubair sesuai dengan cita-cita Nabi ﷺ.
Tetapi setelah ‘Abdullāh bin Zubair terbunuh, Al-Hajjaj bin Yūsuf Ats-Tsaqafiy menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan mengabarkan apa yang telah dilakukan oleh ‘Abdullāh bin Zubair. Maka Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada Al-Hajjaj untuk merubah kembali ka’bah sebagaimana sedia kala, yaitu dengan menutup pintu yang baru (pintu bagian barat) sehingga hanya tersisa satu pintu saja (pintu bagian timur) dan pintu tersebut ditinggikan kembali. Demikian juga dengan mengurangi tambahan ka’bah yang berada di sisi Al-Hijr. Adapun tinggi ka’bah tetap dibiarkan sebagaimana apa yang telah dilakukan ‘Abdullāh bin Zubair.
Namun akhirnya Abdul Malik bin Marwan menyesali perbuatannya tersebut, ia menyangka bahwa ‘Abdullāh bin Zubair beralasan ingin mengubah ka’bah dengan berdusta atas nama Nabi. Al-Harits bin Abdillah bin Abi Rabi’ah mengabarkan kepadanya bahwa ‘Abdullāh bin Zubair telah mendengar hadits tentang cita-cita Nabi dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sebagaimana Al-Harits juga telah mendengar langsung dari ‘Aisyah. Kemudian Abdul Malik berkata :
لَوْ كُنْتُ سَمِعْتُهُ قَبْلَ أَن أهدمه لتركته على بِنَاء بن الزُّبَيْرِ
“Seandainya aku mendengar hal ini sebelum aku meruntuhkan ka’bah, tentu aku akan biarkan ka’bah sesuai dengan renovasi ‘Abdullāh bin Zubair.” (Lihat Fathul Baari 3/445-447)
Sehingga ka’bah yang ada sekarang adalah ka’bah yang telah dipugar oleh Al-Hajjaj bin Yusuf At-Tsaqafiy.
Para ulama menyebutkan bahwa khalifah Harun Ar-Rasyid bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang bagaimana kalau beliau meruntuhkan ka’bah dan merenovasinya kembali sesuai dengan yang dibangun oleh ‘Abdullāh bin Zubair berdasarkan hadits-hadits Nabi tentang hal ini. Imam Malik kemudian berkata kepadanya
نَاشَدْتُكَ اللهَ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَلاَّ تَجْعَلَ هَذَا الْبَيْتَ لُعْبَةً لِلْمُلُوكِ لَا يَشَاءُ أَحَدٌ إِلَّا نَقَضَهُ وَبَنَاهُ فَتَذْهَبُ هَيْبَتُهُ مِنْ صُدُورِ النَّاسِ
“Aku memintamu karena Allah wahai Amirul mukminin, janganlah engkau menjadikan ka’bah ini seperti mainan para raja. Jika ada diantara mereka yang berkehendak, maka ia akan meruntuhkan ka’bah lalu membangunnya kembali. Akhirnya keagungan ka’bah akan hilang dari dada-dada manusia.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 9/89)
Ketiga : Rasūlullāh ﷺ dikenal sebagai orang yang berakhlak mulia. Sehingga ketika beliau memasuki Masjidil Haram, orang-orang kafir Quraisy juga ikut serentak mengatakan, “Telah datang kepada kalian orang yang amanah.” Tentu saja Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak akan dikenal sebagai orang yang sangat amanah kecuali karena beliau bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat.
Oleh karena itu, hendaknya seorang da’i atau seorang yang ingin menyebarkan Islam, dia harus pandai bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat. Lihatlah masyarakat Nabi saat itu adalah masyarakat Jahiliyyah yang penuh dengan kerusakan. Namun Rasūlullāh ﷺ sebagai pemuda tetap bergaul dengan mereka. Perhatikan pula bagaimana cara Nabi ﷺ bergaul dimana beliau tidak pernah bergaul pada perkara-perkara yang haram. Hendaknya orang yang rajin ke masjid tidak boleh acuh tak acuh. Islam telah mengajarkan untuk bersosialisasi dan bermasyarakat. Meskipun seseorang itu rajin shalat dan termasuk penghafal Al-Qurān, tidak ada salahnya jika dia bergaul dengan masyarakat, bertemu dan menyalami mereka, dan menunjukkan akhlak yang mulia. Namun apabila mereka melakukan kemaksiatan, seperti suka minum khamr atau berjudi, maka jauhi dan jangan ikut-ikutan dengan mereka. Sebagian orang ingin “luwes” dengan masyarakat tetapi kebablasan, sehingga ikut-ikutan berjudi atau minum khamr, ini adalah sikap yang tidak benar.
Seorang muslim yang memiliki aqidah yang kuat, bukan berarti dia tidak bergaul dengan masyarakat. Karena bagaimana kiranya seseorang itu akan menjadi da’i dan menyeru manusia kepada Allah jika dia tidak pernah bergaul dengan masyarakat yang berdampak tidak ada yang mengenalnya.
Keempat : Allāh menjaga Rasūlullāh ﷺ agar tidak tersingkap auratnya, saat paman beliau mengusulkan agar menggunakan sarungnya ketika mengangkat batu.
Hal ini disebutkan oleh para ulama bahwa Allāh hendak menjaga Nabi ﷺ. Allah enggan jika Nabi-Nya ﷺ mengangkat sarungnya yang berdampak akan tersingkapnya auratnya. Karena itu, Allāh menjaga Nabi ﷺ agar tidak menggunakan sarung. Padahal di zaman Jahiliyyah, terbukanya pakaian atau telanjang, bukanlah perkara yang terlalu diingkari. Karena orang-orang Arab Jahiliyyah dulu ketika thawaf di Ka’bah, mereka dalam keadaan telanjang bulat. Hal ini terus berlangsung, bahkan berlanjut sampai Nabi ﷺ sudah menjadi Nabi, mereka masih thawaf di Ka’bah dengan telanjang bulat. Sampai akhirnya pada tahun ke-9 H Nabi ﷺ mengutus Abū Bakr radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu untuk berhaji dan mengumumkan kepada seluruh orang bahwa:
أَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ
“Ketahuilah, setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji dan tidak boleh thawaf dalam keadaan telanjang di Ka’bah.” (HR Al-Bukhari no 369 dan Muslim no 1347)
Alasan kaum musyrikin sehingga mereka thawaf dengan cara bertelanjang yaitu karena mereka merasa bahwa baju yang mereka gunakan adalah baju yang biasa digunakan untuk maksiat, sehingga mereka malu thawaf dengan mengenakan baju tersebut. Akhirnya mereka pun melakukan bid’ah yang mereka buat-buat sendiri. Mereka beranggapan bahwasanya lebih baik menanggalkan bajunya agar tubuhnya suci dari maksiat lalu melakukan thawaf dengan cara bertelanjang.[8] Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila Al-‘Abbas menyarankan Nabi ﷺ untuk mengangkat sarungnya. Namun, saat Nabi ﷺ hendak melakukannya, Allāh enggan dan menjaga beliau agar tidak tersingkap auratnya, sehingga Allāh menjadikan Nabi ﷺ jatuh tersungkur. Meskipun saat itu beliau belumlah menjadi Nabi.
Kelima : Kisah ini menunjukan bahwa Nabi ﷺ adalah orang yang berakal cerdas. Saat orang-orang Quraisy sedang bertikai dan berebut tentang siapa yang paling berhak diantara mereka meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya. Mereka adalah kalangan orang-orang tua, ada paman-paman Nabi dan orang-orang terpandang lainnya. Sedangkan Nabi ﷺ masih muda ketika itu (baru berumur 35 tahun). Namun saat Nabi ﷺ memberikan ide untuk mengangkat Hajar Aswad di atas kain, mereka setuju dengan pendapat Beliau. Ini menunjukkan akan cerdasnya Rasūlullāh ﷺ.
Seandainya yang mengungkapkan ide tersebut bukan Nabi ﷺ, bisa jadi mereka tidak akan menerima. Tetapi karena yang mengungkapkan ide tersebut adalah seorang yang terkenal amanah dan jujur, akhirnya mereka mau tunduk. Meskipun pada akhirnya yang meletakkan Hajar Aswad adalah Rasūlullāh ﷺ sendiri, bukan mereka.
Inilah kejadian yang terjadi sebelum Rasūlullāh ﷺ diangkat menjadi seorang Nabi. Dengan kejadian ini, maka semakin terpandanglah Nabi ﷺ. Dan dengan adanya peristiwa orang-orang Quraisy yang berselisih, kemudian Nabi ﷺ menjadi pemberi keputusan di antara mereka, membuat kedudukan Nabi menjadi terangkat diantara orang-orang Quraisy ini. Hal ini merupakan pendahuluan dan tanda kenabian yang Allāh berikan, agar saat Nabi ﷺ diangkat menjadi Nabi, beliau telah dikenal di kalangan mereka sebagai orang yang amanah, jujur dan cerdas.
KETERANGAN (FOOTNOTE):
[1] Lihat Fathul Baari 3/441
[2] Fiqhus Siroh, Zaid bin Abdilkarim Zaid hal 96
Disebutkan oleh ahli sejarah bahwa Ka’bah pertama kali memiliki tinggi hanya sekitar 9 hasta (4 atau 4.5 meter). Pintu Ka’bah juga tidak tinggi dan pada saat itu Ka’bah belum memiliki atap. Setelah itu barulah Ka’bah mengalami perubahan dengan diperluas dan dipertinggi serta diberi atap.
عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، وَعُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ قَالاَ: «لَمْ يَكُنْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَوْلَ البَيْتِ حَائِطٌ، كَانُوا يُصَلُّونَ حَوْلَ البَيْتِ، حَتَّى كَانَ عُمَرُ فَبَنَى حَوْلَهُ حَائِطًا»، قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ جَدْرُهُ قَصِيرٌ فَبَنَاهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ
Dari ‘Amr bin Dinar dan ‘Ubaidullah bin Abi Yazid, mereka berdua berkata, “Tatkala di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum ada dinding di sekeliling ka’bah. Mereka dahulu shalat (langsung) sekitar ka’bah. Hingga masa pemerintahan Umar bin al-Khattab maka beliau membangun dinding di sekitar Ka’bah”. ‘Ubaidullah berkata, “Dindingnya pendek, kemudian Abdullah bin Az-Zubair meninggikan dindingnya.” (HR Al-Bukhari no. 3830)
Pada masa Nabi, masa Abu Bakar, dan masa Umar, Ka’bah dahulunya dikelilingi oleh rumah-rumah sehingga hal ini sangat menyempitkan orang-orang yang thowaf, maka Umar pun membeli rumah-rumah di sekeliling ka’bah tersebut lalu menghancurkannya dan membangun dinding di sekililing ka’bah yang tingginya di bawah tinggi manusia. Kemudian Abdullah bin az-Zubair memperluas ka’bah, sehingga dikatakan beliaulah yang pertama kali memasang atap ka’bah (lihat Fathul Baari 7/147)
[3] Sebagian riwayat (seperti mursal Az-Zuhri) menyebutkan bahwa umur Nabi baru dewasa (yaitu baru belasan tahun) ketika dilakukan pemugaran ka’bah. Akan tetapi mayoritas ahli sejarah (diantaranya Ibnu Ishaaq) menyebutkan bahwa umur Nabi pada saat itu 35 tahun (lihat juga Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 9/89).
[4] Siroh Ibnu Hisyaam 1/195 dari riwayat Ibnu Ishaaq.
[5] Siroh Ibnu Hisyam 1/194
[6] Siroh Ibnu Hisyam 1/196-197
[7] Telah terjadi khilaf di kalangan para ulama, apakah seluruh Hijr Isma’il masuk dalam bagian ka’bah ataukah hanya sebagiannya (yaitu hanya 6 hasta dan bukan semuanya)? Al-Hafiz Ibnu Hajar menguatkan bahwa yang termasuk dari ka’bah hanya sekitar 6 hasta dari Hijr Isma’il dan bukan semuanya. Meskipun para ulama mewajibkan thawaf di belakang Al-Hijr, bukan berarti semua al-Hijr termasuk ka’bah akan tetapi hal tersebut hanyalah bentuk kehati-hatian saja. (Lihat Fathul Baari 3/447). Pendapat ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya :
قَالَ يَزِيدُ: وَشَهِدْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ حِينَ هَدَمَهُ، وَبَنَاهُ، وَأَدْخَلَ فِيهِ مِنَ الحِجْرِ، وَقَدْ رَأَيْتُ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ حِجَارَةً، كَأَسْنِمَةِ الإِبِلِ، قَالَ جَرِيرٌ: فَقُلْتُ لَهُ: أَيْنَ مَوْضِعُهُ؟ قَالَ: أُرِيكَهُ الآنَ، فَدَخَلْتُ مَعَهُ الحِجْرَ، فَأَشَارَ إِلَى مَكَانٍ، فَقَالَ: هَا هُنَا، قَالَ جَرِيرٌ: فَحَزَرْتُ مِنَ الحِجْرِ سِتَّةَ أَذْرُعٍ أَوْ نَحْوَهَا
Yazid berkata, “Aku menyaksikan ‘Abdullāh bin Zubair tatkala ia meruntuhkan ka’bah dan beliau memasukan Al-Hijr dalam ka’bah. Dan aku telah melihat pondasi Nabi Ibrahim berupa batu seperti punuk onta.” Jarir berkata, “Aku bertanya kepada Yazid, dimanakah posisi pondasi Ibrahim?” Yazid berkata, “Aku akan tunjukan kepadamu sekarang.” Lalu akupun masuk bersama Yazid ke Al-Hijr kemudian ia menunjukkan kepadaku posisi pondasi Ibrahim, ia berkata, “Di sini”. Jarir berkata, “Akupun mengukur dari al-Hijr 6 hasta atau sekitar 6 hasta” (HR Al-Bukhari no 1586)
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa jarak antara dinding ka’bah dengan dinding bagian dalam Al-Hijr kurang 15 hasta, dengan demikian setengah Al-Hijr bukanlah bagian dari ka’bah. Maka jika ada seseorang yang thawaf dalam Al-Hijr namun melewati setengah Al-Hijr maka thawafnya telah sah. (Lihat Fathul Baari 3/449)
[8] Mujahid rahimahullah berkata, “Dahulu orang-orang musyrik thowaf di ka’bah dalam kondisi telanjang, mereka berkata, نَطُوفُ كَمَا وَلَدَتْنَا أُمَّهَاتُنَا “Kami Thowaf sebagaimana kami dilahirkan oleh ibu kami”. Maka salah seorang wanita diantara mereka meletakan sepotong kain atau sesuatu di kemaluannya dan berkata :
الْيَوْمَ يبدُو بعضُه أَوْ كُلُّهُ … وَمَا بَدا مِنْهُ فَلَا أحلّهُ …
“Pada hari ini tampak sebagiannya atau semuanya….maka apa yang terlihat darinya maka aku tidak halalkan..”
Maka Allahpun menurunkan firman-Nya
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya”. Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji”. Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui .(QS Al-A’raf : 28) (Tafsir Ibnu Katsiir 3/402)
Ibnu Katsir berkata (mengomentari perkataan Mujahid di atas) :
كَانَتِ الْعَرَبُ -مَا عَدَا قُرَيْشًا -لَا يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ فِي ثِيَابِهِمُ الَّتِي لَبِسُوهَا، يَتَأَوَّلُونَ فِي ذَلِكَ أَنَّهُمْ لَا يَطُوفُونَ فِي ثِيَابٍ عَصَوُا اللَّهَ فِيهَا، وَكَانَتْ قُرَيْشٌ -وَهُمُ الحُمْس -يَطُوفُونَ فِي ثِيَابِهِمْ، وَمَنْ أَعَارَهُ أَحْمَسِيٌّ ثَوْبًا طَافَ فِيهِ، وَمِنْ مَعَهُ ثَوْبٌ جَدِيدٌ طَافٍ فِيهِ ثُمَّ يُلْقِيهِ فَلَا يَتَمَلَّكُهُ أَحَدٌ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ ثَوْبًا جَدِيدًا وَلَا أَعَارَهُ أَحْمَسِيٌّ ثَوْبًا، طَافَ عُرْيَانًا…وَأَكْثَرُ مَا كَانَ النِّسَاءُ يَطُفْنَ عُرَاةً بِاللَّيْلِ، وَكَانَ هَذَا شَيْئًا قَدِ ابْتَدَعُوهُ مِنْ تِلْقَاءِ أَنْفُسِهِمْ، وَاتَّبَعُوا فِيهِ آبَاءَهُمْ وَيَعْتَقِدُونَ أَنَّ فِعْلَ آبَائِهِمْ مُسْتَنِدٌ إِلَى أَمْرٍ مِنَ اللَّهِ وَشَرْعٍ، فَأَنْكَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ ذَلِكَ
“Dahulu orang-orang Arab -selain Qurasiy- tidaklah mereka thowaf di ka’bah dengan menggunakan pakain yang mereka pakai. Mereka melakukan demikian dengan dalih bahwasanya mereka tidak mau thowaf menggunakan pakaian yang mereka telah bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan pakaian tersebut. Adapun kaum Quraisy -yaitu al-Hums (orang-orang yang semangat beribadah)- mereka thowaf dengan pakaian mereka. Maka selain orang Quraisy jika diberi baju pinjaman oleh orang Qurasiy maka iapun thowaf dengan pakaian tersebut. Siapa yang punya baju baru juga thowaf dengan baju tersebut lalu setelah itu dibuang, dan tidak seorangpun yang memilikinya. Barangsiapa yang tidak punya baju baru, dan tidak mendapat pinjaman dari orang Quraisy maka iapun thowaf telanjang…dan kebanyakan wanita thowaf telanjang di malam hari. Dan ini semua adalah perkara yang mereka ada-adakan (bid’ah), dan mereka hanya mengikuti nenek moyang mereka, dan mereka meyakini bahwa perbuatan nenek moyang mereka ini bersandar kepada perintah Allah atau syari’at Allah. Maka Allahpun mengingkari mereka” (Tafsir Ibnu Katsiir 3/402, lihat juga Fathul Baari 3/483, Siroh Ibnu Hisyam 1/202).
Bersambung Insya Allah…